Wisata Sejarah

Kapal PLTD Apung 1


Kapal PLTD Apung  ini terletak di daerah Kampung Punge Blangcut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Kapal PLTD Apung adalah kapal pembangkit tenaga Diesel yang digunakan untuk menambahkan tenaga listrik di Aceh. Kapal PLTD di bawa dari Pulau Kalimantan Barat. Kapal  ini memiliki  berat 2.600 ton, dengan panjang 63 meter dan luas 1.900 M2 .Dengan kekuatan listrik yang dihasilkan sebesar 10 MW. Tak heran kapal ini sangat penting peranannya bagi Masyarakat Aceh.

Ketika terjadinyanya Stunami pada tanggal 26 desember 2004, kapal PLTD Apung , yang sedang bersandar di pelabuhan Ulee-Lheue, terseret oleh gelombang Tsunami hingga ke Kampung Punge Blangcut, yang berjarak sekitar 4km.Saat ini kapal PLTD Apung menjadi saksi atas besarnya bencana yang menelan korban jiwa lebih dari 150 ribu orang di Aceh. Kapal PLTD Apung masih biasa digunakan, meskipun beberapa peralatan di dalamnya mengalami kerusakan, namun sampai saat ini beberapa elemen masih bisa dipakai sebagai pembangkit listrik untuk kota Banda Aceh.
Dari atas Kapal PLTD Apung, kita bisa melihat pemandangan kota Banda Aceh yang cukup padat. Hampir tidak terdapat sisa terpaan Tsunami yang terjadi 6 tahun lalu. Monumen kapal PLTD Apung makin ramai dikunjungi oleh Wisatawan Lokal, Nasional maupun Mancanegara. Bahkan di sisi kapal telah didirikan Monumen Edukasi Tsunami dimana terdapat taman dan juga sejumlah foto beserta informasi mengenai musibah Tsunami yang menimpa Aceh. Kita harapkan PLTD Apung menjadi salah satu Keajaiban Dunia.

PINTO KHOP

Pinto Khop terletak di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Kota Banda Aceh. Pinto Khop merupakan sejarah Aceh tempo dulu. Pinto Khop  di bangun pada masa pemerintahan sultan iskandar muda. Pinto Khop merupakan pintu penghubung antara istana dan taman putroe phang.Pinto khop ini merupakan pintu gerbang berbentuk kubah.Pinto khop ini juga merupakan tempat beristirahat putri pahang setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari gunongan.Di sanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri,di sana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri mandi bunga.
Pinto Khop adalah Taman yang dibuat oleh Sultan Iskandar Muda untuk Putri Pahang. Putri Pahang  adalah Istri raja Pahang yang sangat cantik. Karena ada sengketa dikerajaan pahang maka putri pahang diberikan kepada Sultan Iskandar Muda untuk dijadikan Istri, sebagai persembahan untuk kesenangan putri dibuatlah taman tersebut,Terdapat juga bangunan yang disebut Gunongan saat setelah selesai dibuat kemudian dikapur putih oleh penduduk dengan jalan tiap tiap penduduk datang kesitu untuk mencalitkan kapur yang dibawa oleh calitan jarinya, masing masing “Saboh Cilet” atau satu calit.

GUNONGAN

Gunongan ini terletak di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Kota Banda Aceh. Bangunan ini  berwarna putih, ukurannya berbentuk segi enam, seperti bunga, dan bertingkat tiga dengan tingkat utamanya sebuah mahkota tiang yang berdiri tegak. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan Bpribadi dan angkutan umum, dapat di tempuh melalui jalan Teuku Umar. Gunongan ini merupakan salah satu peninggalan kejayaan Kesultanan Aceh.

Gunongan  ini dibangun pada Abad ke-17 ini, Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kesultanan Johor dan Kesultanan Pahang di Semenanjung Malaka. Putri Kerajaan yang di bawa oleh Sultan Iskandar Muda dari Pahang yang sangat cantik parasnya dan halus budi bahasanya, Membuat Sultan Iskandar Muda jatuh cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri. Demi cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia memenuhi keinginan permaisurinya untuk membangun sebuah taman sari yang sangat indah, lengkap dengan Gunongan sebagai tempat untuk menghibur diri agar kerinduan sang permaisuri pada suasana pegunungan ditempat asalnya terpenuhi.


MUSEUM STUNAMI


Museum Tsunami ini terletak di pusat Kota Banda Aceh berdekatan Dengan lapangan Blang Padang. Museum Stunami bertujuan untuk mengenang kembali pristiwa Tsunami yang maha daysat yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban lebih kurang 240,000 0rang.
Museum Stunami ini sebagai objek Wisata, dimana Museum Tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana Tsunami. Diharapkan sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana Tsunami dan sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh. Dalam berbentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi Tsunami. Sekaligus untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan Tsunami yang mengancam wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.
Museum Stunami Merupakan sebagian bentuk  Rumah Tradisional masyarakat Aceh, berupa bangunan rumah panggung Aceh, Dan diambil sebagai analogi dasar massa bangunan. Dengan konsep rumah panggung, bangunan ini juga dapat berfungsi sebagai sebuah escape hill, di sini terdapat sebuah taman berbentuk bukit, yang dapat dijadikan sebagai salah satu antisipasi lokasi penyelamatan jika seandainya terjadinya banjir dan bencana Tsunami di masa datang. Tampilan Museum Stunami bagian eksterior yang luar biasa yang mengekspresikan keberagaman Budaya Aceh melalui pemakaian ornamen dekoratif unsur transparansi elemen kulit luar bangunan.
Museum ini sebagai bukti sejarah Aceh, bahwa pernah mengalami peristiwa tsunami. Dan untuk mengenang korban tsunami, Museum Stunami sebagai pusat pendidikan bagi genersi muda tentang cara penaggulangan tsunami ketika datang. 

RUMAH TRADISONAL ACEH


Rumah aceh (Rumoh Aceh) yang berada di pusat Kota Banda Aceh, dan bersebelah dengan pendopo Gubernur Banda Aceh. Rumah Aceh adalah rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumah Aceh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumah Aceh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut seuramoe likot (serambi belakang) dan sramoe reunyeun atau (serambi bertangga), yaitu tempat masuk ke Rumah Aceh yang selalu berada di sebelah timur.


Pintu utama Rumah Aceh yang tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm, sehingga setiap orang yang masuk ke Rumah Aceh harus menunduk. Namun begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumah Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumah Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah. Rumah Aceh tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak (tali pengikat dari rotan). Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumah Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Di Sini kita dapat melihat pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya, dapat dilihat pada orientasi Rumah Aceh yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah.
Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumah Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumah Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakatnya lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton, yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah, daripada Rumah Aceh yang pembuatannya lebih rumi dan biaya perawatannya lebih mahal. Keberadaan Rumah Aceh merupakan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumah Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri.




MAKAM KERKOFF PEUCUT

Kerkoff Peucut  adalah kuburan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh. Kompleks kuburan ini banyak tersebar di wilayah Indonesia. Salah satunya terletak di kota Banda Aceh, dan sekarang menjadi objek wisata Sejarah  menarik, khususnya bagi wisatawan mancanegara (terutama wisatawan asal Belanda). Dahulu kala Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak.
Bukti sejarah Aceh ini dapat ditemukan di pekuburan Belanda Kerkhoff ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon dan beberapa serdadu suku lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda, yang kuburannya masih dirawat dengan baik. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi kuburan taersebut.
Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terluas di dunia. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon. Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang tewas dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui dimana kuburnya.Di area ini, juga terdapat makam putra Sultan Iskandar Muda, yaitu Amat Popok yang berzina dan dijatuhi hukuman rajam.



MUSEUM CUT NAYK DHIEN




         Museum Cut nyak Dien terletak di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada,Aceh Besar, Sebuah Museum yang namanya diambilkan dari pejuang wanita Aceh, yaitu Cut Nyak Dhien. Museum ini dekat dari pusat Kota Banda Aceh jaraknya sekitar 6 kilometer. Oleh karena lokasinya yang dekat dengan kota Banda Aceh, maka untuk mencapai museum ini relatif mudah, baik dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum.

Museum yang bangunannya berbentuk rumah tradisional Aceh ini,pada mulanya adalah rumah pribadi dari seorang pejuang wanita Aceh, yang diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia, yaitu Cut Nyak Dhien. Sejarah Museum Cut Nyak Dien. Pada tahun 1893 saat terjadi Perang Aceh, rumah Cut Nyak Dien ini sempat dibakar oleh tentara Belanda hingga tinggal fondasinya saja yang tersisa. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya sekitar permulaan tahun 1980-an, Bekas rumah Cut Nyak Dien yang hanya tinggal fondasinya itu baru mulai “dilirik” oleh pemerintah, Untuk dibangun kembali dan dijadikan sebagai sebuah museum.
Tujuan pembangunan museum, Selain untuk mengenang jasa-jasa Cut Nyak Dhien dalam mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda, Juga dijadikan sebagai aset wisata Aceh. Di dalam museum Cut Nyak Dien  terdapat berbagai benda bersejarah peninggalan Cut Nyak Dhien dan suaminya Teuku Umar, ketika mereka sama-sama berjuang mengusir penjajah Belanda dari tanah kelahirannya.